Selasa, 24 Juni 2014

EXAMPLE OF ARGUMENTATIVE ESSAY


EXAMS SHOULD BE ABOLISHED
            Exams a word that many students dread to hear a word that seems to have magical power to transformed happy and cheerful person into a frustrated and nervous wreck. Exams are always the only way to test and estimate the students understand or not with the material that has been taught in learning. Even though some people believe that exams in school are the most accurate form of testing, I believe that exams are not useful for the students for some reasons.
            First, exams have been an important part of the education system, which gives teacher an evaluation of students’ learning capability and a dynamic check of their progress during the course. Exams are necessary, because it is the only way that students can prove their knowledge’s. However, exams are not always objective. For example, the result of oral examination is usually deeply influenced by the teachers attitude to the concrete students it does not reflect only students’ knowledge.
            Second, students take many oral and written exams in the years of schooling. The students’ have to be evaluated by their teachers to see whether they make progress or not. Exams are essential because exams test students’ skill and enable them to overcome their nerves and make the students’ perform well. They will spend their time to learning for a long time and they will get the best result for their exams. Although, they have been learning for a long time, the result may be unsatisfied and they cannot overcome their nerves so they may not perform well.
            All in all, exams are not useful for the students’. Therefore, examinations should be abolished. In my opinion, exams make the students under tremendous stress and while students are in great sress and exam is not the objective way to prove their knowledge’s and we should change the exams with the superior system of measuring achievement and understanding.

BOOK REVIEW FILSAFAT ISLAM




BOOK REVIEW
Judul                           : Filsafat Islam
Pengarang                   : Drs. Sudarsono, SH. M.Si.
Penerbit                       : Rineka Cipta
Cetakan ke                  : Cet. 2
Tahun terbit                 : 2004
Jumlah halaman           : ix + 161 hlm. ; 23,5 cm.[1]
Kertas isi                     : HVS
Cover                          : Soft

Rina Uyun Solikhah

A.    PENDAHULUAN
            Bertolak dari makna filsafat itu sendiri maka buku ini menguraikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang maha luas dalam agama islam sebagai agama wahyu yang terakhir di turunkan ke bumi.
            Kebijaksanan-kebijaksanaan dalam artian filsafat islam adalah meliputi segala sesuatu yang ada di kehidupan alam fana dan alam baka. Sehingga adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan ini manusia di angkasa raya atau langit akan manoleh kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Buku filsafat islam ini menguraikan masalah islam dari segi filosofis yang tentunya akan memberikan tambahan pengetahuan dan pengertian tentang islam.[2]
            Filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari khazanah pemikiran Islam, baik dari aspek konten maupun sejarah perkembangannya, sesungguhnya bukan suatu yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan yang harus dipahami, dijelaskan, dan diuraikan. Ketidaktelitian dalam mencermati, memilih, dan memilah persoalan inilah yang sering menyebabkan kita salah dalam menilai dan mengambil tindakan. Adanya sikap yang anti-filsafat di sebagian kalangan umat Islam atau anggapan bahwa filsafat Islam tidak lain adalah jiplakan dari Yunani, salah satu sebabnya adalah karena adanya kekurang telitian tersebut.[3]
            Tulisan ini mencermati persoalan tersebut, berkaitan dengan akar atau sumber-sumber penalaran rasional dalam islam yang dari sana kemudian berkembang menjadi sebuah sistem pemikiran logis dan filosofis.[4]

B.     FILSAFAT ISLAM
            Buku Filsafat Islam karya Sudarsono ini terdiri dari tiga belas bagian. Pembahasan buku ini diawali dengan penjelasan mengenai perkembangan pemikiran pada masa ilmu kalam. Pada masa ini melahirkan beberapa golongan di antaranya: Khawarij, Mu’tazilah, Ahlu sunah wal jama’ah yang terbagi menjadi aliran asy’ariyah dan aliran maturidiyah, dan satu golongan terakhir adalah syiah yang terbagi menjadi tiga yaitu: Imamiah, Zaisiyah, dan Islamiyah. [5]
            Selanjutnya dalam buku ini menjelaskan tentang tokoh-tokoh Filsuf Islam di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ar-Razi, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Maskawih, Ibnu Rusyid, Mohammad Iqbal.
            Dalam bab dua ini penulis memaparkan biografi Al-kindi dan karyanya. Pandangan Al-kindi tentang Filsafat Islam yakni “ Filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia dan tertinggi martabatnya”. Pengarang juga memaparkan pemikiran Al-Kindi tentang unsur-unsur pemikiran yang mempenngaruhi fislafatnya: 1). Pemikiran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat 2). Pemikiran Aristoteles dalam fisika-fisikanya dan metafisika dan berbeda pendapat mengenai qadimnya alam/ kekalnya alam 3). Pemikiran Plato dan Aristoteles dalam etikanya 4). Pemikiran Plato dalam kejiwaanya 5). Wahyu dan Imam (ajaran-ajaran agama) dalam hubungannya dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya 6). Pemikiran Mu’tazilah dalam menekan rasio dan menafsirkan ayat-ayat Al-quran.
            Pemikiran Al-Kindi tentang metafisika lebih di titikberatkan kepada masalah hakikat Tuhan, bukti-bukti, dan sifat Tuuhan. Menurutnya Tuhan adalah wujud yang hak (benar), yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, Ia selalu mustahil tiada ada, Ia akan selalu ada dan selalu ada. Jadi menurut Al-Kindi Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada kecuali dengannya.
            Dalam buku lain juga memaparkan tiga jalan untuk membuktikan adanya Tuhan, menurut pandangan Al-Kindi yaitu: 1). Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, jadi wajib ada yang menciptaknnya dari ketiadaan dan pencipta itulah Tuhan 2). Dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atu keseragaman bersama-sama, bukanlah karena kebetulan, tetapi karena sesuatu sebab. Sebab pertama itulah sebab 3). Kerapian alam tak mungkin terjadi tanpa ada yang merapikan (megaturkannya). Yang merapikan atau mengaturkan alam nyata itulah Tuhan.[6]
            Bagian ketiga atau bab tiga penulis memaparkan Filsuf Islam Al Farabi. Nama asli Al-Farabi yaitu Abu Nasr Muhammad Al Farabi. Beliau adalah seorang muslim keturunan Parsi, yang didirikan di kota Farab (Turkestan), anak Muhammad Ibn Auzalgh seorang panglima perang Parsi dan kemudian berdiam di Damsyik. Al Farabi belajar di baghdad dan Harran, kemudian ia pergi ke Suria dan Mesir.[7]
            Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara Filsafat Aristoteles dan Neo Platonisme dengan pemikiran keislaman yang jelas dengan corak aliran Syi’ah Imamiah. Misalnya dalam soal mantik dan filsafat fisika ia mengikuti Aristoteles, dalam soal Etika dan politik ia mengikuti Plato, dan dalam metafisika ia mengikuti Plotinus. Selain itu dalam buku ini penulis juga memaparkan bahwa Al-Farabi seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yang percaya akan kesatuan ( ketunggalan ) filsafat.
            Dalam bab empat penulis memaparkan Ibnu Sina dengan pemikirannya tentang metafisika, hukum sebab musabab, Tuhan maha pengatur dan maha tahu, dan pandangan tentang akal. Pada bab ini penulis lebih menonjolkan pemikiran Ibnu Sina tentang ketuhanan.
            Selanjutnya pada bab lima membahas tentang Ar-Razi. Di sini penulis membahas pemikiran Ar-Razi tentang metafisika. Ar-Razi menguraikan metafisiska dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ketuhanan. Namun buku tersebut sudah tidak ada lagi saat ini yang ada hanya sangkalan-sangkalan dari beberapa paragraf buku tersebut yang dikumpulkan oleh Kraus. Dalam pemikiran Ar-Razi ini muncul problem-problem yakni penjiplakan dari Filsafat Yunani Kuno. Yang isinya yakni lima prinsip kekal, dan kelima prinsip itu adalah tentang Tuhan, jiwa universal, materi pertama, yang absolut, dan waktu yang absolut.
            Bab selanjutnya membahas Filsuf Islam yang bernama Al-Ghazali. Al-Ghazali adalah tokoh terbesar dalam sejarah reaksi Islam Neo-Platonisme. Al-Ghazali seorang ahli hukum, teolog, filosofis, dan sufi. [8] Al-Ghazali dalam pandangan ahmad hanafi dalam bukunya “Pengantar Filsafat Islam”, bukan termasuk sebagai filosuf karena ia menentang bahkan memerangi filsafat. Akan tetapi al-Ghazali telah mempelajari filsafat sedemikian rupa hingga dapat mengkritik para filosuf muslim dari segi pemikiran filsafat metafisika. Mungkin hal inilah yang menyebabkan al-Ghazali dimasukkan dalam pembahasan filosuf Islam.[9]
            Bab tujuh membahas tokoh filsuf Islam bernama Ibnu Bajjah. Ibnu Bajjah adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajjah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajjah dengan “Avempace”. Sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gabreal, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing dengan Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.[10]
            Ibnu Bajjah menentang pandangan Al-Ghazali mengenal filsafat, akan tetapi banyak mengomentari filsafat Aristoteles. Ibnu Bajjah berhasil memberi corak baru filsafat Islam di Barat terutama mengenai teori Ma’rifat dalam efitologi. Dalam hal ini pandangannya berbeda sama sekali dengan Al-Ghazali.
            Bab delapan membahas Tokoh Ibnu Thufail. Ibnu Thufail terkenal dengan filosof muslim yang gemar menuagkan pemikiran filsafatnya melalui kisah-kisah yang ajaib dan penuh dengan kebenaran. Ia adalah Abu Bakar Muhammad Bin Abdul Malik Bin Thufail, dilahirkan di Wadi Asy dekat Granada, pada tahun 506H/1110M kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesusatraan matematika dan filsafat. [11]
            Pemikiran filsafat menurut Ibnu Thufail, ia berpendapat bahwa akal dapat membimbing manusia dari alam kegelapan setingkat demi setingkat menuju kepada cahaya kebenaran secara hakiki. Pemikiran Ibnu Thufail ini sejalan dengan filosof pada umumnya, termasuk Ibnu Bajjah. Akan tetapi Ibnu Thufail tidak sejalan dengan Al-Ghazali yang memandang Tasawuf dapat menuntun manusia untuk mencapai kebenaran yang hakiki.[12]
            Bab sembilan, tokoh yang dibahas dalam bab ini adalah Ibnu Maskawaih. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khozim Ahmad Ibn Muhammad Bin Ya’kub Bin Maskawaih, atau ada yang menyebut ibnu Maskawaih atau Miskawaih.
            Pemikiran Maskawaih tentang Tuhan, ia berpendapat bahwa membuktikan kebenaran Tuhan itu mudah, karena kebenaran tentang adanya Tuhan telah terbukti dengan dirinya sendiri dengan amat jelas. Walaupun Maskawaih menetapkan bahwa alam di ciptakan Tuhan dari tiada, tetapi ia pun menganut teori emanasi dari Neo Platonisme, namun penerapannya berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina.
            Bab ke sepuluh ini membahas tentang tokoh Ibnu Rusyd (520-595 H / 1126-1198 M). Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Anadalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd Nenek (al Jadd) adalah kepala hakim cordova.[13]
            Corak pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd yang terkenal di Eropa dengan sebutan Averroism berpangkalan kepada pikiran merdeka dan yang ditolak secara keras sekali oleh dunia. Kristen Eropa, telah mempengaruhi seluruh Universitas Eropa untuk berabad-abad lamanya, sehingga menimbulkan zaman Renaissance di benua Eropa. Ibnu Rusyd terkenal sebagai “pengulas Aristoteles”. Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli pikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Ibnu Rusyd juga termasuk seorang Filosof Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal.
            Di dalam buku ini juga megulas problem filsafat Ibnu Rusyd yang mana problem tersebut terdapat lima problem 1). Pengetahuan Tuhan 2). Amal perbuatan 3). Keazalian Alam 4). Gerakan yang Azali 5). Akal yang universal.
            Tinjauan metafisika menurut Ibnu Rusyd, dalam hal ini Ibnu Rusyd membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifatnya dan hubungan Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika Ibnu Rusyd. Pembahasan Filsafat Ibnu Rusyd sangat banyak dan luas sekali.[14] Kebenaran pembahasan filsafatnya tadi dapat dilihat dalam beberapa cabang filsafat yang menjadi pemikirannya. Karena itulah pemikirannya banyak dikenal dan dikagumi baik di luar maupun sesama filosof Islam. [15]
          Bab sebelas membahas tokoh Mohammad Iqbal. Mohammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab pada tanggal 9 nopember 1877 yang bertepatan dengan tanggal 3 Dzul Qa’dah dan tahun Hijriyah 1294. Iqbal menyelesaikan pendidikan dasr di Sialkot, Punjab. Kemudian melanjutkan sekolah ke Lahore.
            Menurut Mohammad Iqbal Than itu adalah iradah yang abadi (Eternal Will) dan keindahan digolongkan menjadi salah satu sifat darinya, sifat yang melingkupi nilai seni dan susila. Bukanlah keindahan Tuhan, tetapi kesatuan-Nya (Tauhid) yang utama. Esensi kehidupan ialah semua pembentukan gairah dan cita-cita dan untuk memelihara dirinya sendiri serta mewujudkan dirinya dilapangan yang kian luas, maka kehidupannya memperoleh atau berkembang dari dirinya sendiri berupa alat, seperti kecerdasan, kehlian, dan sebagainya yang banyak bantuannya mengasimilasi kemanusiaan halangan yang terbesar bagi kehidupan ialah alam; tetapi walaupun begitu, alam bukanlah suatu kejahatan; oleh sebab diberinya kesempatan kepada kuasa-kuasa batin, kehidupan memperkembang dirinya sendiri (Ego) sampai kepada kemerdekaan menghilangkan semua hambatan dan arah dan dicapainya kemerdekaan sepenuh-penuhnya menghampiri ego yang paling merdeka- Tuhan.
            Pendapat Iqbal tentang realitas yakni dalam mencari hakikat yang terdalam dari kenyataan-kenyataan menurut Iqbal adalah kenyataan-kenyataan sebagai suatu kegagalan. Yang dimaksud dengan kenyataan ini adalah berupa
“ Pribadi dan Zat”. Didalam pribadi Tuhan, terdapat ego Tuhan. Menurut Iqbal ego Tuhan adalah ego terakhir (ultimate ego ) atau diri mutlak. Pendapat nya tentang ego terakhir mempunyai kesamaan dengan pendapatnya mengenai ego-ego lain. Ego yang lain tersebut, terdapat pada dunia kebendaan (material) dan pula pada manusia.[16]
            Bab dua belas membahas tentang aktualisasi pemikiran kefilsafatan dalam islam. Dalam bab ini poin-poin yang dibahas adalah 1). Al-qur’an, mukjijat, dan kenabian. 2). Etika dan kenegaraan. 3). Akidah dan tasawuf. 4). Agama dan filsafat.
            Sedangkan di bab terakhir penulis membahas tentang Ijtihad dalam kerangka pemikiran filsafat Islam. Poin-poin yang dibahas adalah 1). Pengertian Ijtihad 2). Bidang kajian Ijtihad 3). Ijtihad dewasa ini 4). Ijma 5). Qiyas 6). Takwil 7). Dalil.

C.    PENUTUP
            Buku yang ditulis oleh Sudarsono ini pada hakekatnya adalah filsafat Islam. Yang didalamnya dijelaskan secara singkat dan padat mengenai pengertian, tokoh-tokoh Filsuf  Islam dan ruang lingkup filsafat Islam. Hal ini dimaksudkan hanya sebagai pengantar agar nantinya mudah memahami filsafat Islam.
            Menurut saya, setelah membaca buku “Filsafat Islam” ini masih banyak kekurangan di dalam penulisan. Misalnya saja, terdapat beberapa kata yang salah ketika penulisan, tak hanya itu kekurangan buku ini juga tidak memiliki daftar pustaka. Hal ini menyusahkan pembaca untuk mengetahui referensi yang konkrit tentang buku ini. Selain itu, sistematika penulisan juga terlihat belum rapi antara penulisan bab dan sub bab. Hal ini membuat bosan ketika membaca buku ini. Kendati demikian, buku ini secara “isi” sudah dapat menggambarkan filsafat Islam secara menyeluruh. Walaupun demikian secara keseluruhan buku ini sangat tepat bagi para pelajar yang ingin meningkatkan wawasannya mengenai dunia filsafat, khususnya filsafat Islam. Tidak hanya dimiliki oleh mahasiswa bidang filsafat saja, tetapi dapat dimiliki mahasiswa lainnya karena sudah menjadi mata kuliah wajib di tiap jurusan perguruan tinggi.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Siddik, Abdullah. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra masa, 1998
Soleh, Khudori. Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer. Jogjakarta: Ar-       ruz Media, 2013
http://aqifil.bgspot.com/2013/12nama-gedong-maulana-kabir-nim.html?=1             (online tanggal 26 Mei 14, 08:17)


                [1] http://aqifil.bgspot.com/2013/12nama-gedong-maulana-kabir-nim.html?=1 (online tanggal 26 Mei 14, 08:17)
                [2] Khudori soleh, Filsafat Islam, h 3.
                [3] Ibid,h 4.
                [4]Iibid, h 25.
                [5]  http://aqifil.bgspot.com/2013/12nama-gedong-maulana-kabir-nim.html?=1 (online tanggal 26 Mei 14, 08:17)
                [6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h 73.
                [7] Abdullah siddik, Islam dan Filsafat, h 89.
                [8] Sudarsono, Filsafat Islam, h 62.
                [9] http://ourquranhadis.wordpress.com/2013/12/27/resensi-buku-pengantar-filsafat-islam-karya-ahmad-hanafi-ma/ (online tanggal 27 mei 2014 22:01)
                [10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h 157.
                [11] Sudarsono, Filsafat Islam, h 80.
                [12] Ibid., h. 85.
                [13] Ibid.,  h 93.
                [14] Ibid., h. 102.
                [15] Ibid., h. 104.
                [16] Ibid., h. 109.